Mengisahkan kegagalannya dari Danjen Kopassus hingga kisah cintanya di Geng Flamboyan– ketua geng ini tak lain adalah Ani Yudhoyono yang saat itu memadu kasih dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
SENTIMEN agama membuat Suwisma gagal menjadi Komandan Jenderal Kopassus pada 1998. Ia baru tahu sentimen itu sebagai alasan utama setelah Jenderal (purn) Wiranto bercerita dalam buku Bersaksi di Tengah Badai, halaman 27.
Suwisma pun mengabadikan teks kalimat itu dalam sebuah pigura besar di ruang tamu rumahnya. “… Pada saat saya menjabat KSAD, didasarkan suatu proses yang fair melalui persidangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) di tingkat Mabes ABRI telah diputuskan pengganti Danjen Kopassus (Mayjen Prabowo Subianto) adalah Brigjen Suwisma (Mayjen TNI SN Suwisma, ketika itu sebagai Panglima Divisi I Kostrad–pen). Namun keputusan itu sempat gagal ketika Mayjen Prabowo langsung menghadap Pak Harto untuk memberikan masukan lain mengenai calon Danjen Kopassus. Menurutnya, Brigjen Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus (ini menurut penjelasan Pak Harto kemudian kepada saya di lain kesempatan). Selanjutnya, secara pribadi diusulkan Mayjen Muchdi PR yang saat itu menjabat sebagai Pangdam di Kalimantan.”
Namun, ia tak sakit hati. Ia jalani hari-hari selanjutnya dengan prinsip, “Kerjakan yang terbaik,” kata dia kepada saya, Juli 2013. Di Kopassus, jabatan tertingginya adalah Wakil Komandan Kopassus. Tak menjadi Danjen Kopassus, ia pun diangkat menjadi Pangdam VI/Tanjungpura.
Sebelum dikirim menjadi Komandan Korem 043 Garuda Hitam di Lampung, dialah yang memimpin upacara HUT TNI pada 1995 dihadapan Presiden Soeharto. Pangkatnya waktu itu kolonel. Setelah itu, ia banyak berpindah dan naik jabatan sampai akhirnya menjadi Anggota DPR Fraksi TNI/Polri pada 2003, dengan pangkat mayor jendral.
Suwisma lahir di Desa Tamanbali, Bangli, Bali pada 10 Mei 1949, Ia putra Sang Made Pegeg, seorang veteran pejuang kemerdekaan. Setelah SMA pada 1968, ia merantau ke Jawa, masuk pendidikan Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Ia lulus pada 1971.
Sejak itu ia diangkat menjadi Instruktur Akmil hingga 1974. “Saya senior (Presiden) SBY, dua tahun (lebih awal),” kata dia.
Waktu itu, Gubernur Akmil Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Sampai 1974, ia menjadi instruktur prajurit junior, seperti Bibit Waluyo (mantan Gubernur Jawa Tengah), Djaja Suparman, Prabowo Subianto, dan lain-lain.
“Saya baru lulus kok jadi pelatih dengan pangkat letnan dua. Pengalaman tentara belum ada,” ia menceritakan pengalaman yang mengesankan itu.
Lika-liku cinta Suwisma cukup unik. Ia mencintai gadis anak jenderal, Rataya B. Kentjanawathy (akrab dipanggil Ken), putri almarhum Brigjen TNI (Purn) Rangga B. Bayupathy. “Pak Sarwo Edhie yang menjodohkan saya,” tuturnya. Waktu itu Susilo Bambang Yudhyono juga sedang berpacaran dengan Kristiani Herrawati atau Ani.
Ia mengatakan, Ken dan Ani adalah sahabat dekat saat di Jakarta. “Teman bermain menyebrang Kali Ciliwung, ibu Ani itu pemimpinnya. Ada temen-temen satu gang di jalan flamboyan,” katanya tersenyum mengenang kisah itu.
Ketika masih di Magelang, untuk mengontak kabar Ken, ia bekirim surat. Tuhan sepertinya mempermudah jalinan cintanya, karena surat cinta itu dikirim melalui Mayjen Sarwo Edhie. “Saya kirim surat melalui ajudannya Pak Sarwo kalau mau ke Jakarta. Ajudannya suka ke saya, ‘suratnya mana pak gubernur mau ke Jakarta’. Sampai saya menikah, mobil pengantin itu dari mobilnya Pak Sarwo,” kata dia. Ia menikah pada 1980 dan dikaruniai tiga putra, dua di antaranya masuk militer.
Ia pernah dikirim untuk menumpas GPRS/Paraku di Kalimantan, Operasi Seroja di Timor Timur, dan OPM di Irian Jaya. Dua kali harusnya ia telah mati di medan laga, saat di Kalimantan dan Timor-Timur. Sejak itulah ia mengaku makin religius dalam beragama.
“Waktu saya di Kalimantan, saya mestinya mati. Saya bersama 15 orang dan 5 hansip, saya sudah dibidik. Pas di semak-semak perbatasan, ada yang sudah menembak, karena semak-semak jadinya meleset. Akhirnya seorang hanisp yang menembak orang itu. Itu jaraknya tidak sampai 10 meter. Itu di rawa,” ujarnya.
Di luar militer, ia banyak masuk dalam organisasi, bahkan memiliki jabatan tinggi di sebuah perusahaan. Ia pernah aktif di Persatuan Terjun Payung Indonesia, Persatuan Judo Seluruh Indonesia, PB Pertina, dan KONI Pusat. Dia juga diangkat sebagai Komisaris PT Gajah Tunggal, PT Garuda Wisnu Kentjana, dan sejak 2005 sampai sekarang ia sebagai Direktur Utama MNC TV.
“Hobi saya terjun payung, sampai pernah kaki patah,” kata dia. Untuk mengisi di hari-hari tua, ia menjaga tubuh dengan berjalan kaki dan golf. Dokter melarang dia lari, karena ada penyakit jantung bawaan sejak kecil. Ini yang membuatnya heran, kenapa bisa lulus Akabri. “Bocor di serambi kiri, sehingga denyut jantung tidak teratur,” katanya.
Suwisma memang bukan tipe kolektor. Tapi jika ditanya koleksi, ia memiliki ratusan merek dan jenis jam tangan. “Saya seneng jam, tapi jam saya pemberian semua, hehe,” katanya. Ia mengatakan ada 25 jenis jam yang memenuhi satu almari di rumahnya. “Ada Rolex itu macam-macam. Tag heuer, Cartier, Bvlgari, Franck muller, dan lain-lain,” kata dia. Ia juga menunjukkan jam tangan berlapis emas Cartier. “Saya suka jam tangan yang ada dua waktu atau tiga waktu. Franck Muller, misalnya. Temen-temen yang ngasih. Itu hadiah semua, boleh dikatakan saya beli belum pernah, hehe,” ujar Suwisma.
Sebagai anggota TNI harus bisa menyanyi, ternyata, ia suka dengan beberapa lagu. “Dangdut, seperti sakit gigi. Ada juga lagu widuri,” kata penyuka film-film action ini.