Djarot: Jakarta sudah Kelebihan Beban

TAK pernah terlintas di benak Djarot Saiful Hidayat untuk menjadi wakil gubernur DKI Jakarta. Meski akhir-akhir ini, ia tahu namanya kerap disebut-sebut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon utama.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri sudah merestui namanya. Surat pencalonan telah disodorkan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Boy Bernardi Sadikin kepada Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (3/12).“Saat pertama tahu, ya aku kaget juga, ternyata Pak Basuki itu memonitor jejak karier seseorang,” ujar Mantan Wali Kota Blitar, Jawa Timur, dua periode (2000-2010).

Djarot mengenal Ahok sejak 2006 saat mengikuti sebuah pertemuan kepala daerah di China — Ahok masih menjadi Bupati Belitung Timur. Ia mengaku memiliki kesamaan visi dan misi dalam hal mengisi otonomi daerah, menyejahterakan rakyat, dan menata birokrasi.

Tidak ada pertemuan khusus antara dirinya dengan Ahok terkait wakil gubernur. Namun, Ahok pernah secara tidak langsung “meminangnya” suatu kali di awal 2014. “Dia bilang: ‘Pak bantu aku di Balai Kota’. Tapi saya cuma bilang: ‘Wah nanti dululah saya selesaikan tugas saya dulu,” ujar Djarot. Setelah itu tak ada kelanjutan cerita soal itu.

Di bawah kepemimipinannya, ia membatasi mal, minimarket, dan restoran cepat saji. “Bukannya saya anti, tetapi masyarakat kita bisa juga kok bikin sendiri,” kata Plh Ketua DPD PDIP DKI (2011-2013).

Untuk membenahi Jakarta, ia sadat butuh waktu lama dan tidak cukup lima tahun. Menurut dia, sejak awal Jakarta sudah salah urus. “Sejak dulu sudah terlalu rusak, ruang terbuka hijau habis dengan sendirinya akibat pembangunan mal dan pusat perbelanjaan lainnya,” ujarnya.

Selama 45 menit Djarot menerima wartawan HARIAN NASIONAL Dian Riski Rosmayanti dalam suasana hangat dan cair di kantornya di lantai 7 Nomor 723, Gedung Nusantara I DPR RI. Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Magelang, 6 Juli 1962 itu– bukan Gorontalo, 30 Oktober 1955 — seperti berita sebelumnya:

Bagaimana awal kedekatan dengan Ahok?
Saya kenal Pak Basuki sejak 2006 saat itu kami ada pertemuan di China bersama sejumlah kepala daerah lainnya. Pak Basuki sebagai Bupati Belitung Timur dan saya Wali Kota Blitar. Sejak awal bertemu saya sudah banyak berdikusi.

Sejak saat itu kami selalu berkomunikasi meski hanya melalui sambungan telepon atau hanya sekadar berbalas pesan singkat. Kami memiliki kesamaan visi misi yang ideal dalam rangka mengisi otonomi daerah, menyejahterakan rakyat, dan menata birokrasi.

Kami dipertemukan kembali saat saya menjadi Plh Ketua DPD PDIP DKI pada 2011. Saat Pilkada DKI pada 2012, saat itu kami dari PDIP berusaha memenangkan Jokowi-Ahok. Pertemuan hanya sebatas itu, tetapi kami masih sering berkomunikasi melalui telepon.

Ada pembicaraan khusus soal pencalonan Anda?
Pak Basuki sudah menghubungi saya ketika Pemilihan Legislatif awal 2014. Dia meminta saya untuk membantunya mengurus Jakarta. Dia bilang, “Pak bantu aku di Balai Kota”.Tapi, saya cuma bilang, “Wah nanti dulu lah saya selesaikan tugas saya dulu”.

Setelah tahu nama Anda yang terpilih?
Ya aku kaget juga, ternyata Pak Basuki itu memonitor jejak karier seseorang. Dia juga tahu kiprah saya memimpin Blitar selama 10 tahun hingga kami berdua menjadi salah satu dari sepuluh kepala daerah terbaik versi majalah Tempo. Dia (Ahok) suka orang yang berprestasi, berkarakter, dan pekerja keras. Ya saya bangga dong mendapat apresiasi.

Pendapat Anda soal Kota Jakarta dan Blitar?
Jangan samakan dua kota yang berbeda. Tetapi samakan tentang fungsi pemerintahannya. Pertama, pemerintah harus bisa melayani masyarakat. Birokrasi harus melayani rakyat 24 jam, bukan dia (birokrat) dilayani rakyat. Contoh pemerintah harus tahu dan melayani pada saat ibu hamil, melahirkan hingga ketika meninggal dunia. Jangan melayani hanya simpati.

Kedua, melindungi dan mengayomi masyarakat. Kalau ekonomi masyarakat tidak diperhatikan, lambat laun peradaban manusia akan mati sendirinya. Ketiga, birokrasi pemerintah harus mampu memberdayakan dan mengangkat harkat dan martabat masyarakat. Ini yang harus diubah baik di Blitar maupun di Jakarta.

Soal kehidupan masyarakat Jakarta dan Blitar…
Blitar itu plural, homogen, guyub, dan kompromi. Sementara Jakarta itu post-modern, penggunaan media sosial berkembang pesat, teknologi tak lagi berkekurangan, dan heterogen. Jakarta tidak cukup dikelola oleh satu orang. Kami harus membangun hubungan baik antara eksekutif dengan legislatif atau organisasi massa pendukung pemerintah.

Secara perlahan kita harus memperjelas identitas Ibu Kota. Industri dipindahkan ke kota mitra agar ada pemerataan ekonomi.

1.Djarot Saeful HidayatAnda melihat Jakarta itu seperti apa?
Jakarta itu portal seluruh daerah, the city of everything. Tetapi, juga menjadi kota yang sosoknya tidak jelas mau ke mana.

Bung Karno menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota negara untuk menjadi kota pemerintahan dan kota jasa seperti pendidikkan, kesehatan, hiburan, kesenian. Sayangnya fungsi itu hilang, Jakarta telah menjadi kota industri. Sayangnya bukan industri kreatif sebab semakin lama beban Jakarta semakin berat.

Secara perlahan kita harus memperjelas identitas Ibu Kota. Industri dipindahkan ke kota mitra agar ada pemerataan ekonomi. Ini bisa menjadi penyaring arus urbanisasi masuk ke Ibu Kota sehingga akar masalah seperti macet dan banjir secara perlahan terurai. Sangat tidak masuk akal kalau kita terus berlomba membangun jalan, sementara pertumbuhan angkutan massal sangat terhambat.

Bangun rusunawa dekat dengan lokasi industri agar para tenaga kerja memiliki tempat tinggal. Akhirnya kita bisa mengurangi angka mobilitas manusia.

Anda pernah sukses membatasi minimarket di Blitar. Apa kuncinya?
Waktu saya memimpin Blitar, saya sampaikan tidak boleh ada mal. Kalau ada mal bisa habis tuh pedagang pasar tradisional. Tidak boleh ada makanan cepat saji dan minimarket juga harus kami batasi. Kalau aturannya per kecamatan hanya boleh satu minimarket, ya tidak boleh lebih dari itu. Tidak boleh sampai ke kampung-kampung. Bukannya saya anti, tetapi masyarakat kita bisa juga kok bikin sendiri. Itulah yang saya bilang fungsi pemerintah untuk melindungi masyarakatnya.

Itu juga mau diterapkan di Jakarta?
Tidak, ini beda. Jakarta, kota bertaraf internasional. ‘Barang’ seperti itu harus ada. Mal tidak bisa dilarang, tetapi harus dibatasi. Di Jakarta ini sudah kelebihan beban dan pusat perbelanjaan sudah terlalu banyak. Sudah cukup, mal tidak boleh ada lagi di Jakarta. Mereka inilah yang menyebabkan macet dan banjir Ibu Kota.

Resapan air tidak ada dan jalan semakin sempit sementara setiap hari ada saja bangunan menjulang yang tumbuh. Di Jakarta ini susah sekali diaturnya, bahkan saya lihat ada minimarket yang sangat dekat dengan pasar.

Ide Anda membangun Jakarta?
Penataan birokrasi, bukan sekadar dirampingkan tapi dirubah mindset-nya. Jangan benci birokrasi, jangan takut ambil keputusan. Revitalisasi pasar tradisional, kampung deret, dan tata PKL.

Soal transparansi anggaran?
Terapkan e-budgeting. Harus transparan agar dapat terpantau oleh masyarakat. Berdayakan betul kelurahan dan wali kota.

Berencana blusukan juga di Jakarta?
Blusukan itu sudah aku lakukan ketika menjadi wali kota. Naik sepeda motor, sepeda ontel, Pak Basuki tahu itu. Tapi itu harus terprogram, terjadwal, fokus dan nggak ngawur. Aku di DKI sudah 3 tahun loh, makanya aku tahu daerah-daerah yang remang-remang, daerah yang gelap sampai daerah yang terang benderang. Tapi, yang ruwet-ruwet tahulah. Hanya saja masih sedikit pengetahuan dibanding Pak Basuki.

#Dimuat di HARIAN NASIONAL 4 Desember 2014

Leave a comment