Suu Kyi dan Bayang-bayang Barat

BEBERAPA waktu lalu saya akhirnya menonton Film The Lady (2012), yang berkisah tentang tokoh pro-demokrasi Burma atau kini dikenal Myanmar. Aung San Suu Kyi, begitulah orang-orang Burma menyebutnya. Wanita ini keturunan Jenderal Ang San, ayahnya yang dibunuh oleh kudeta militer pada tahun 1960-an. Dalam film ini digambarkan bahwa kudeta dilakukan oleh seorang prajurit militer, anak buah Aung San sendiri.

Film itu berdurasi sekitar dua jam. Saya menonton bersama istri di Bioskop Metropole XXI, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2012). Dari mula saya menonton itu karena ingin tahu seberapa jauh peran Aung San Su Kyi ini dalam perjuangan di Burma. Sebagai tokoh politik perempuan, ia sosok yang populer di dunia. Dari film itu pula, saya baru mengetahui kalaulah, Aung San Su Kyi penerima Nobel Perdamaian tahun 1991. Ia juga menjadi cover di Majalah Time  berkat perjuangan politiknya yang ingin mewujudkan demokrasi di Burma.

Apalagi dalam pemberitaan internasional, dirinya selalu ditulis “teraniaya” secara politis oleh junta militer yang berkuasa selama hampir 40 tahun. Ia menjadi tahanan rumah selama hampir 20 tahun: tidak boleh berpolitik, tidak boleh behubungan dan atau bepergian ke luar negeri, dan yang paling menyedihkan – baru saya ketahui di film itu – adalah dirinya tak boleh berkontak telepon dengan suami dan kedua anaknya yang berada di Inggris, sehingga lengkap sudah penggambaran belas kasihan terhadap dirinya.

Dalam film ini, Ang San Suu Kyi – seterusnya saya sebut Suu, diperankan oleh aktris asal Malaysia, Michelle Yeoh, yang lebih sering bermain laga di film-film Hongkong. Menurut saya, dalam hal fisik Yeoh memiliki kemiripan dengan Suu: mulai wajah, tubuh kurus, mata, warna kulit, dan tinggi badannya tak jauh beda.

Berperan sebagai Suu, memaksa Yeoh belajar Bahasa Burma yang tergolong sulit. Ia juga mempelajari pidato-pidato Suu. Untuk menghayati betul penderitaan Su, ia harus menurunkan berat badan, yang dirinya biasanya mrmiliki berat badan sekitar 50 kilogram, menjadi sekitar 41 kg.

Dari segi akting, saya melihat Yeoh bisa melakonkan dengan baik, meskipun tanpa adengan laga. Ia harus menjadi ibu rumah tangga, berpidato dan memimpin massa politiknya di bawah Partai Politik Liga Nasional Demokrasi. Ini adalah gaya baru dari Yeoh selama ini. Cukup mumpuni ia memerankan sosok Suu, yang oleh publik internasional kurang begitu diketahui secara pasti. Suu dikenal hanya melalui pemberitaan internasional dan tentu saja itu sangat minim untuk mengenal karakater aslinya. Lagipula, bisa terjadi, pemberitaan itu juga sebagai pencitraan kepada dunia terhadap kondisi yang dialami Suu.

Ada beberapa catatan saya mengenai film ini, diantaranya: (1) saya berharap melihat film ini mengupas secara detil pahit getir perjuangan politik dan pembatasan atas diri Suu selama ini. Meski hal itu tergambar, saya pikir kurang begitu detil; misalnya bagaimana penderitaan fisiknya: dipukul, disiksa dalam penjara atau bagaimana?

Apakah dalam realitas aslinya, ia mengalami hal seperti itu. Mungkin, sang sutradara tidak ingin menonjolkan dalam sisi itu, barangkali terlalu panjang dan tidak bisa menggambarkan sosok Suu dalam sisi lainnya. Gambaran yang muncul kemudian adalah Suu dalam romantisme. Di sini peran suaminya sangat kental terlihat. Nanti akan saya jelaskan di bagian lain.

(2) Suu kemudian sebagai sosok politikus, yang tiba-tiba didapuk untuk memimpin sebuah partai politik untuk sebuah revolusi-demokrasi. Di sinilah saya terbuat bingung dengan tiba-tiba, karena sosok Suu tadinya hanyalah ibu rumah tangga biasa.

Pasca meninggal ayahnya, ia berkawin dengan orang Inggris dan menetap di London – di sini juga tak diceritakan bagaimana Suu bisa bertemu dengan orang Inggris –  tapi setelah mendengar dan melihat kekisruhan di televisi menentang junta militer, ia khawatir dengan kondisi rakyat Burma. Ia pun harus pulang ke Burma, ketika ibunya sakit. Nah, dari sinilah konflik kemudian baru tercipta. Pemimpin kudeta militer mengetahui anak bekas atasannya itu pulang ke tanah airnya. Sang pemimpin takut Suu akan mengambil alih kekuasaan. Lagi-lagi tidak dijelaskan mengapa tiba-tiba sang pemimpin ini mengalami ketakutan. Faktor apa yang ada dalam diri Suu, sehingga serta-merta membuat dirinya takut.

Dari sekian adegan, kemudian Suu dihadapkan pada realitas unjuk rasa mahasiswa dengan diliputi darah, luka, dan kematian. Ia pun seolah menjadi pahlawan; yang tiba-tiba berubah haluan pemikiran, perasaan, dan tujuan menjadi sebuah keinginan politik, setelah dalam aksi-aksi mahasiswa itu, dirinya melihat foto ayahnya diusung sebagai tokoh teladan rakyat Burma. Ia menjadi terenyuh, dan secara singkat ia memutuskan untuk berpolitik.

(3) Di sini, penonton tidak diberi bekal awal, bagaimana sosok Suu sebelum berpolitik. Adegan dalam keluarga orang tua diceritakan pun sangat singkat. Tidak ada sosok Suu  kecil sampai dewasa. Bagaimana ia menghadapi situasi setelah pembunuhan ayahnya, bagaimana keluarganya yang hidup drastis setelah penguasaan militer, dan kemanakah Suu pergi? Tapi semua terjawab dengan tiba-tiba, bahwa Suu telah menikah dan memiliki dua anak.

Selanjutnya, ia tiba-tiba harus memimpin sebuah politik revolusi demokrasi. Tidak ada alasan kuat, yang membekali penonton mengapa Suu ditunjuk sebagai pemimpin partai. Dalam dialog tokoh-tokoh dari universitas itu bilang, bahwa mumpung Suu di Burma mereka menemui Su, karena itulah waktu yang tepat untuk bergerak secara politik.

Di sini, saya berpikir ada korupsi logika (logical corruption) atas informasi Suu, yang seharusnya saya dapatkan, tapi tidak disampaikan. Saya tadinya berharap film ini akan menjadi sebuah film biografi Suu.

(4) Barangkali sutradara tidak ingin terjebak pada cerita epik, yang memunculkan tokoh heroik. Makanya, kisah Suu ini perlu dibalut dari beberapa segi romantisme keluarga. Dari kabar internasional kita jarang mendengar peran suaminya – mungkin bacaan saya kurang banyak, dalam perjuangan politik Suu. Dengan bersuami orang asing, juga menyebabkan Suu sering menerima tekanan. Tekanan dari pemimpin kudeta ini karena kesengajaan agar Suu merasa takut dan tak perlu berpolitik lagi. Junta ingin agar Suu merasa pesimis, putus asa, sehingga kembali kepada keluarga di London, dan tak perlu lagi berada di Burma. Keluarga menjadi alat Junta untuk memengaruhi psikologis Suu.

Tapi Suu tidak patah arang. Jika dilihat dalam film ini, kita akan diajak pada ketegaran luar biasa dari seorang wanita. Bagaimana bisa dibayangkan, ia jauh dari anak-anak dan suami. Dipisahkan antara benua. Jika ia pergi ke luar negeri, Junta pasti tidak akan mengizinkan Suu untuk kembali. Makanya, Suu berpikir bahwa dirinya tak akan melangkah sejengkal pun untuk keluar dari Burma.

(5) Perjuangan Suu tak lepas dari politik lobi. Di sini kita seolah belajar kembali bagaimana politik lobi dipakai. Dan suami Suu itulah yang memerankan politik lobi di belakang layar. Ia melobi ke Kedutaan Besar Inggris berbekal profesinya sebagai seorang doktor di Universitas Oxford. Suami Suu memiliki jaringan penting petinggi Inggris. Saat pembentukan partai, Suami Suu berperan sebagai orang yang menggandakan selebaran sekian ribu eksemplar, dan lagi-lagi menggunakan mesin fotokopi milik kedutaan Inggris.

Ketika sebelum dilarang berhubungan dengan suaminya, Suu juga sering menelpon anak-anak dan suaminya di London melalui telepon kedutaan. Suu menjadi sosok yang tak asing bagi kedutaan.

Lobi tingkat tinggi diperlihatkan suaminya, ketika ia melobi petinggi panitia Nobel. Ia meminta agar Suu diberi penghargaan Nobel Perdamaian, guna mengangkat citra Suu di mata internasional, sehingga dunia bisa menaruh perhatian kepada Burma. Dengan begitu, Burma akan menjadi sorotan dunia dan kekerasan Junta bisa diredam karena intimidasi dunia internasional. Dan baru kali ini saya mengetahui kalau nobel itu bisa diberikan karena permintaan, bukan penilaian dari pihak panitia sendiri.

Kegigihan suaminya tak berhenti di situ, ia juga melobi ke PBB. Makanya Burma pun mendapatkan embargo ekonomi dari Amerika Serikat. Di balik layar, ia mengumpulkan dukungan internasional, makanya ia sangat senang ketika Suu dijadikan sampul di Time. Di situ Suu ditulis sebagai anggrek baja, The Iron Orchid.

Dari catatan saya tadi di atas, barangkali masih banyak kekurangannya karena pengamatan saya yang tidak cermat dan mendalam. Namun, ada ketakutan-ketakutan yang saya imajinasikan ke depan bila memang Burma dipimpin oleh Suu. Ketakutan ini adalah balas jasa yang akan dimainkan oleh Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin, karena sudah berjuang mengangkat Suu di mata internasional, ketika Suu menduduki orang nomor satu di negara tersebut, mereka juga meminta “upah” atas jasanya dulu.

Saya membayangkan bagaimana AS atau Inggris akan berperan dalam politik-ekonominya. Saya tidak terlalu banyak tahu, apa komoditas yang layak diminati dari Burma bagi negara-negara barat. Tapi kepentingan politik, misalnya, AS akan mendesak Burma meminjam uang di lembaga moneter internasional (IMF) sebagai jalan untuk memulihkan perekonomian Burma yang carut marut. Bila ini dilakukan berarti AS akan bersaing dengan China. China adalah negara eskpor terbesar ke Burma. Selama diembargo oleh AS, China-lah yang “mensuplai” kebutuhan-kebutuhan negara tersebut. Ketergantungan Burma terhadap China cukup tinggi saat di bawah pendudukan Junta.

Bisa jadi ketika Suu memimpin Burma hal itu akan beralih. Dan politik Barat akan masuk ke Burma. Seperti halnya, ketika Soeharto naik tahta, dan AS kemudian mendekati secara perlahan-lahan, sampai akhirnya Soeharto merestui Indonesia utang kepada IMF. Ketergantungan ini diperlihatkan Indonesia ketika krisis moneter pada 1997-1998, untuk menyelamatkan ekonomi, kita harus berutang lagi kepada IMF. Dan entah berapa sudah utang kita kepada asing sampai kini?

Dan kekhawatiran itulah yang saya perkirakan bakal terjadi pula kepada Burma. Mungkin Suu akan tidak berani menolak kepada Barat, karena ia menyadari bahwa ia dikenal internasional karena mereka. Jika itu ditolak, Suu bakal dianggap sebagai “anak yang tak tahu diri”. Dan, saya membayangkan, persinggungan di elit atau sebagian pemikir masyarakat Burma pun akan bermunculan, karena menganggap Suu berkolaborasi dengan barat. Nantinya, saya berpikir ada sekelompok kritisi, yang menginginkan berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung kepada asing. Dan kembali lagi, pergolakan internal negara tidak akan habis, meski Suu sudah menjabat sebagai orang nomor satu di Burma. Kecuali, Suu berani dan meyakinkan kepada rakyatnya, ia akan membangun negerinya dengan berdikari. Apakah Suu berani dengan “ayah tirinya”?

Leave a comment